Senin, 04 Oktober 2010

SOSIOLOGY SMSTR 1

INSTITUSI SOSIAL

Menurut DURKHEIM ,Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari institusi(suatu struktur status dan peran yang diarahkan kepemenuhan dasar anggota masyarakat.KORNBLUM)…Disini kita akan melihat sejumlah institusi utama,yaitu institusi dibidang ekonomi,politik,keluarga,pendidikan dan agama,,,,

INSTITUSI KELUARGA

Tipe Keluarga

Dalam sosiologi keluarga biasanya dikenal pembedaan antara keluarga bersistem konsanguinal dan keluarga bersistem conjugal.keluarga yang bersistem konsanguinal menekankan pada pentingnya ikatan darah,seperti misalnya hubungan antara seseorang dengan orang tuanya..ikatan seseorang dengan orang tua lebih penting dari pada ikatannya dengan suami atau istrinya….dalam keluarga jepang atau tionghoa tradisional,misalnya,seorang anak laki-laki akan memihak orang tuanya manakala orang tuanya berselisih dengan istrinya.keluarga dengan system conjugal,dipihak lain,menekankan pada pentingnya hubungan perkawinan (antara suami dan istri);ikatan dengan suami atau istri cenderung dianggap lebih penting daripada ikatan dengan orangtua.

Pembedaan tipe keluarga yang dkenak pula ialah antara keluarga orientasi dan keluarga prokreasi..keluarga orientasi ialah keluarga yang didalamnya seseorang dilahirkan, sedangkan keluarga prokreasi ialah keluarga yang dibentuk seseorang dengan jalan menikah dan mempunyai keturunan.

Pembagian tipe keluarga yang lain ialah keluarga batih dan keluarga luas. Keluarga batih merupakan suatu keluarga terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Menuruut William Goolde keluarga batih tidak mengandung hubungan fungsional dengan kerabat keluarga orientasi dari salah satu pihak. Apabila suatu pasangan beserta anak mempunyai hubungan dengan kerabat dari keluarga orientasi salah satu atau kedua belah pihak, maka keluarga demikian lebih tepat dinamakan keluarga konjugal.

Keluarga luas terdiri dari beberapa keluarga batih. Kita mengenal beberapa tipe keluarga luas. Salah satu diantaranya adalah join family yang terdiri dari beberapa laki-laki kakak beradik beserta anak-anak mereka dan saudara kandung perempuan mereka yang belum menikah. Laki-laki tertua diantara kakak beradik menjadi kepala keluarga manakala ayah mereka meninggal dunia.

ATURAN MENGENAI PERKAWINAN

Incest Taboo

Incest taboo (larangan hubungan sumbang, sumbang muhrim), yang melarang hubungan perkawinan dengan keluarga yang sangat dekat seperti perkawinan salah seorang anak dengan orang tuanya, atau perkawinan dengan saudara kandung. Menurut Clayton larangan hubungan sumbang ini tidak terbatas pada orang yang mempunyai hubungan darah sangat dekat (orang tua-anak, saudara kandung) tetapi sering mencakup pula kerabat di luar orang tua dan saudara kandung.

BENTUK PERKAWINAN

Dua macam bentuk perkawinan yaitu, monogamy (perkawinan antara laki-laki dengan seorang perempuan pada saat yang sama) dan poligami (perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa perempuan pada waktu yang sama, atau antara seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki pada waktu yang sama). Poligami dibagi lagi dalam bentuk perkawinan: poligini yaitu, perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan pada waktu yang sama. Poliandri yaitu, perkawinan antara seorang perempuan pada waktu yang sama, dan perkawinan kelompok yaitu, perkawinan antara dua orang laki-laki atau lebih dengan dua orang perempuan atau lebih pada waktu yang sama.

Aturan lain yang berlaku dalam hubungan perkawinan ialah eksogami (sistem yang melarang perkawinan dengan anggota sekelompok) dan endogami (sistem yang mewajibkan perkawinan dengan anggota sekelompok).

FUNGSI KELUARGA BARU

Menurut Horton dan Hun mengidentifikasikan beberapa diantaranya yaitu fungsi pengaturan seks, reproduksi, sosialisasi, afeksi, definisi, status, perlindungan dan ekonomi. Pertama, keluarga berfungsi mengatur penyaluran dorongan seks. Tidak ada masyarakat yang memperbolehkan hubungan seks sebebas-bebasnya antara siapa saja dalam masyarakat. Kedua, reproduksi berupa pengembangan keturunan pun selalu dibatasi dengan aturan yang menempatkan kegiatan ini dalam keluarga. Ketiga, kelurga berfungsi untuk menyosialisasikan anggota baru masyarakat sehinnga dapat memerankan apa yang diharapkan darinya. Keempat, keluarga mempunyai fungsi afektif yaitu, keluarga memberikan cinta kasih kepada seorang anak. Kelima, keluarga memberikan status kepada seorang anak, bukan hanya status yang diperoleh seperti status yang terkait dengan jenis kelamin. Keenam, keluarga memberikan perlindungan kepada anggotanya.

BERKEMBANGNYA GAYA HIDUP BARU

Menurut Giddens dalam banyak masyarakat kehidupan bersama diluar nikah antara laki-laki dan perempuan usia muda mengalami peningkatan. Orang yang hidup bersama tersebut, yang sering memperoleh keturunan ada yang pada akhirnya menikah. Dalam masyarakan kita pun telah diidentifikasikan secara serupa dikalangan para mahasiswa dikota besar yang dikenal dengan istilah kumpul kebo. Giddens mengemukakan pula bahwa kini banyak pula yang homoseks laki-laki maupun perempuan yang hidup bersama sebagai suatu pasangan tetap. Diantara perempuan lesbian yang hidup berpasangan tersebut ada yang mengasuh anak kandung salah seorang diantara mereka. Kinipun mulai ada pasangan laki-laki homoseks yang mengasuh anak. Salah satu factor yang menyebabkan penundaan perkawinan atau bahkan keinginan untuk tetap hidup membujang dikalangan orang miuda ialah keinginan untuk tetap bebas.

PR (PUBLIC RELATION)

PR

Humas kependekan dari hubungan masyarakat. Hal ini seringkali disederhanakan sebagai sebuah terjemahan dari istilah Public Relations (PR). Sebagai ilmu pengetahuan, PR masih relatif baru bagi masyarakat Indonesia. PR sendiri merupakan gabungan berbagai imu dan termasuk dalam jajaran ilmu-ilmu sosial seperti halnya ilmu politik, ekonomi, sejarah, psikologi, sosiologi, komunikasi dan lain-lain.

Dalam kurun waktu 100 tahun terakhir ini PR mengalami perkembangan yang sangat cepat. Namun perkembangan PR dalam setiap negara itu tak sama baik bentuk maupun kualitasnya.Proses perkembangan PR lebih banyak ditentukan oleh situasi masyarakat yang kompleks.

PR merupakan pendekatan yang sangat strategis dengan menggunakan konsep-konsep komunikasi (Kasali, 2005:1). Di masa mendatang PR diperkiraan akan mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Pemerintah AS mempekerjakan 9000 karyawan di bidang komunikasi yang ditempatkan di United States Information Agency.

Masyarakat mengenal profesi Public Relations ( PR) dari beberapa sisi. Yang pertama, PR akademisi, yaiutu paa pengajar, peneliti ilmu kmunikasi yang memberi andil bagi pengembangan dan perluasan ilmu hubungan masyarakat melalui pendidikan. Yang kedua, inhouse PR yaitu mereka yang bekerja sebagai petugas PR di organisasi swasta maupun nirlaba. Yang ketiga, konsultan PR, yaitu pekerja perusahaan jasa kehumasan, melayani sejumlah klien yang membutuhkan konsultasi program

Cikal bakal munculnya profesi PR erat kaitannya dengan profesi wartawan dan dunia jurnalistik. Ivy Ledbetter Lee seorang jurnalis senior Amerika Serikat di tahun 1906 telah menerapkan prinsip dan stratetegi PR untuk menyelesaikan krisis manajemen yang dialami sebuah perusahaan raksasa.perusahaan itu adalah industri tambang minyak terbesar yang menghadapi pemogokan masal para buruhnya, dan berpotensi menjatuhkan bisnisnya sekaligus reputasi perusahaan. Saat itulah Ivy Lee mengajukan konsep manajemen PR untuk mengatasi krisi tersebut, proposalnya sebagai berikut:

  1. Membentuk manajemen PR yang bertugas mengatur informasi atau berita dengan bekerjasama dengan pers
  2. Posisi PR setara top manajemen dan decision maker, tepatnyua sebagai executive assistant President Director
  3. Memiliki wewenang penuh melaksanakan fungsi dan peran sebagai pejabat PR yang mengelola manajemen komunikasi
  4. Manajemen peruasahaan harus lebih terbuka terhadap public, buruh dan pers

Konsep manajemen PR ini terbukti berhasil. Dengan publisitas yang intensif dan terbuka kepada publik melalui pembeitaan media, perusahaan itu akhirnya mendapat simpati public internal dan eksternal serta terlepas dari keterpurukan.

Fungsi petugas PR atau PR Officer (PRO) pun berkembang seiring kemajuan dunia usaha. Ada 4 fungsi utama yang dituntut dari petugas PR. Yaitu sebagai:

  1. Communicator

Sebagai juru bicara organisasi, PR berkomunikasi secara intensif melalui media dan kelompok masyarakat. Hampir semua teknik komunikasi antar pesona ( interpersonal communication) dipergunakan, komunikasi lisan, komunikasi tatap muka sebagai mediator maupun persuader.

2. Relationship

Relationship yang tidak harmonis beresiko menimbulkan ketidakpuasan public yang pada akhirnya mengancam kelangsungan bisnis perusahaan. Contoh: penanganan kasus Lumpur panas PT. Lapindo terus menerus menimbulkan protes ketidakpuasan dari penduduk yang kecewa karena proses penggantian kerugian untuk rumah yang terendam tidak segera terealisir.

3. Management backup

Menunjang kegiatan departemen lain dalam perusahaan seperti bagian pemasaran, operasional, teknik, keuangan , personalia demi terciptanya tujuan bersama

4. Good image maker

Menciptakan citra perusahaan dan publisitas positif

Dalam dua dekade terakhir, publik mencermati nama – nama pejabat PR yang kerap muncul sebagai nara sumber perusahaan atau organisasi yang diwakilinya, seperti:

  • Aminuddin mewakili Astra International
  • Ditta Amahoerseya mewakili Citibank Indonesia
  • Budi Mulya mewakili Bank Indonesia
  • Pujobroto mewakili Garuda Indonesia

Dalam bukunya Effective Public Relations, Scott Cutlip menyebutkan lima fungsi di PR di organisasi non profit:

  1. Mengembangkan awareness dan persepsi masyarakat terhadap misi organisasi
  2. Menciptakan salurankomunikasi yang tepat dengan public yang dilayaninya
  3. Menciptakan dan mengembangkan iklim dan budaya untuk fundraising
  4. Memformulasikan kebijakan public yang berkaitan dengan misi organisasi
  5. Memotivasi etos kerja public internal baik manajemen, karyawan, sukarelawan, dan mitra terkait untuk mencapai misi organisasi

ATURAN PERMAINAN DALAM ILMU-ILMU ALAM

materi filsafat semester 1

Salah satu faktor yang telah membawa ilmu-ilmu alam ke betony yang sekarang ini adalah aturan permainan yang iguana dalam proses pengembangannya. Pokok-pokok aturan itu dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. 1.Pengamatanberulang

2. Kemampuan meramalkan gejala alam yang lain

3. Jalinan antara teori dan pengamatan




FILSAFAT ILMU – ILMU ALAM DAN ILMU – ILMU SOSIAL

tugas filsafat semester 1

utama untuk membedakan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu- ilmu sosial dapat dirumuskan dalam tiga pernyataan berikut:

1. Manusia berbeda dengan bola bilyar.

Pada abad 17-19, paradigma yang mendominasi di dunia ilmu pengetahuan adalah paradigma Newtonian. Oleh karena itu, baik penelitian ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial selalu menggunakan paradigma Newtonian itu. Kosekuensinya, penelitian atas manusia pun sangat diwarnai positivisme, atau disebut juga naturalisme. Artinya, metode ilmu-ilmu alam diterapkan untuk menganalisis realitas sosial. Para pemikir ataupun para ilmuan yang menolak aliran ini seringkali disebut para ilmuan anti naturalisme. Para pemikir anti naturalisme berpendapat bahwa kehidupan manusia tidak bisa dipelajari secara memadai dengan menggunakan metode yang biasa digunakan di dalam fisika ataupun ilmu-ilmu lainnya.

2. Tidak ada yang disebut sebagai kesatuan metode di dalam ilmu pengetahuan yang dapat digunakan secara universal, baik untuk ilmu-ilmu alam ataupun ilmu-ilmu sosial.

Tidak ada metode, konsep, ataupun hukum-hukum yang universal yang ada di dalam fisika ataupun ilmu-ilmu alam lainnya yang dapat digunakan untuk menganalisis manusia, baik itu sebagai individu ataupun sebagai masyarakat. Untuk menganalisis dunia kehidupan manusia, kita harus menggunakan metode yang bersifat manusiawi, misalnya menggunakan metode historis, metode interpretatif, dan tidak menggunakan metode eksperimental, seperti yang digunakan fisika.

3. Manusia merupakan makhluk yang memiliki kehendak bebas, serta nilai-nilai tertentu yang membuat hidupnya menjadi bermakna.

Kedua hal inilah yang membedakan manusia dengan benda-benda fisik biasa. Dengan demikian, kita menolak esensi yang membuat manusia itu menjadi manusia, jika kita menerima dan menerapkan metode naturalisme.

Pendekatan-pendekatan anti naturalisme dipinggirkan, dan dianggap terlalu bersifat subyektif belaka. Kini, hanya para filsuf dan sejarahwan lah yang menggangap metode anti naturalistik tersebut sah untuk menganalisis manusia. Tidak seperti ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial tidaklah mempunyai metode yang bersifat universal yang dapat diterapkan untuk siapapun, kapanpun, dan dimanapun.

Pada sebagian besar abad ke-20, ilmu-ilmu yang berpradigma antinaturalis tidaklah terlalu populer, bahkan dianggap sebagai kurang ilmiah.salah satu argumen yang paling tajam dirumuskan oleh Peter Winch dalam bukunya yang berjudul Idea of Social Science and Its Relation to Philosophy. Di dalam buku itu, Winch menggunakan konsep languange games dari Wittgenstein untuk menekankan bahwa ilmu-ilmu sosial tidak akan pernah berhasil dengan menggunakan metode ilmu-ilmu alam. Manusia, yang menjadi obyek kajian ilmu-ilmu sosial, adalah makhluk yang memiliki makna dalam setiap tindakannya, dan makna tersebut diperolehnya dari tradisi, budaya, ataupun norma-norma di mana dia hidup. Karena Winch sangat dipengaruhi oleh Wittgenstein, banyak pernyataannya tidak terlalu berpengaruh di dalam ilmu pengetahuan, melainkan lebih banyak didiskusikan pada level filsafat, terutama untuk memberikan tanggapan kritis terhadap naturalisme di dalam ilmu-ilmu sosial.

Ilmu-ilmu alam pun tidak lagi dipandang bebas nilai, melainkan sudah terkait dengan suatu kepentingan tertentu. Berbagai refleksi tentang kaitan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan tidak membangkitkan kecurigaan bahwa ilmu pengetahuan ternyata sangat bersifat Eropasentrik dan Bias Gender. Akibatnya, ilmu pengetahuan sebagai keseluruhan pun mulai dipikirkan ulang.

Secara spesifik dapatlah dikatakan, bahwa perdebatan kontemporer di dalam ilmu pengetahuan lebih berkisar tentang peran hukum-hukum, teori, dan pengamatan, serta kriteria penerimaan suatu teori di dalam ilmu alam ataupun ilmu-ilmu sosial. Akan tetapi, perdebatan tersebut tidak lagi terjadi di dalam kerangka dominasi paradigma positivisme, melainkan post-positivisme. Dengan pola yang sama, konsep naturalisme yang sebelumnya sering digunakan untuk menentukan keilmiahan suatu teori, kini tidak lagi digunakan dengan peran otoritatif semacam itu. Dengan kata lain, iklim di dalam dunia ilmu pengetahuan kini lebih terbuka untuk pandangan-pandangan yang berbeda dengan paradigma naturalisme.

Charles Taylor, di dalam tulisannya yang berjudul Sciences of Man, berpendapat bahwa realitas sosial manusia memiliki ciri-cirinya sendiri yang unik, yang tentunya harus didekati dengan metode yang juga spesifik. Bahkan, praktek penelitian dan pengamatan terhadap realitas sosial itupun tidak dapat dilakukan lepas dari realitas sosial yang ada. Oleh karena itu, paradigma naturalisme, baginya, tidaklah dapat menjadi kriteria bagi penilaian obyektivitis suatu teori di dalam ilmu-ilmu sosial.

B. Beberapa Kriteria Perbandingan

Ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial seringkali diperbandingkan. Akan tetapi, kriteria perbandingan yang digunakan jarang sekali bersifat sistematik. Tetapi, perbandingan yang sistematik tetaplah dapat membantu kita untuk melihat antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial.

v Tujuh kriteria perbandingan:

1. Kemungkinan pengamatan.

2. Obyektifitas pengamatan dan penjelasan.

3. Hipotesis.

4. Ketepatan penemuan-penemuan.

5. Keterukunan fenomena-fenomena yang diamati.

6. Kemampuan prediksi.

7. keberjarakan dari pengalaman sehari-hari.

C. Kemungkinan Pengamatan

Pengandaian dasarnya adalah bahwa tidak ada ilmu pengetahuan, kecuali fenomena yang diamati dapat berulang. Di dalam alam, kita dapat dengan mudah menemukan fenomena-fenomena yang bersifat tetap dan berulang.

Heinrich Rickert, seorang filsuf ilmu pengetahuan asal Jerman, membedakan antara ilmu-ilmu alam yang punya karakter menggeneralisasikan, dan ilmu-ilmu sosial yang bersifat mengindividualisasikan, ia secara eksplisit memahaminya sebagai sejarah.

Heinrich juga berpendapat bahwa ketika kita memsukkan alam sebagai tetap dan general, kita menggunakan ilmu-ilmu alam.

Robert Oppenheimer, seorang fisikiawan, pernah mengajukan suatu hipotesis yang mencengangkan, yakni hakekat alam semesta adalah sebuah fenomena yang universal, maka kita dapat memperoleh pengetahuan yang bersifat universal dan umum dari laam semesta itu.

Fenomena di dalam ilmu-ilmu sosial tidaklah sedinamis seperti yang dibayangkan para ilmuan sosial. Karena, jika memang fenomena sosial sangatlah beragam, maka konsep tindakan sosial dan konsep masyarakat tidak akan pernah dapat diterapkan.

Dalam proses manganalisis suatu fenomena, kita menciptakan semacam “model abstrak” untuk memperoleh penelitian dan analisis yang kita lakukan, baik itu pada ilmu-ilmu alam maupun pada ilmu-ilmu sosial. “Model abstrak” ini bersifat artifisial dan reduktif, karena kita tidak mungkin menganalisis suatu fenomena yang berlaku kompleks tanpa direduksi terlebih dahulu.

Dengan demikian, tidak ada perbedaan signifikan sebenarnya, karena setiap teori selalu mengandalkan adanya reduksi ataupun homogenisasi dari fenomena yang kompleks.

D. Obyektivitas Pengamatan dan Penjelasan

Machlup membedakan empat penggunaan kata “nilai” dalam tulisannya. Pertama. Penilaian seorang ilmuwan daptlah terpengaruh oleh kepentingan pribadinya, sehingga penilaian saintiknya juga terpengaruh. Kedua, beberapa halyang bersifat normative seringkali berkaitan dengan fenomena yang dianalisi. Ketiga, seorang ilmuwan biasanya memilih bidang yang tidak bertentangan denga keyakinan pribadinya. Keempat, seorang ilmuwan social haruslah menjelaskan pengamatannya terhadap tingkah laku manusia , dimana tingkah laku tersebut dapat ditafsirkan hanya dengan mengacu pada motif dari manusia tersebut.

Dengan argument tersebut, seringkali para ilmuwan mencap bahwa ilmu-ilmu social seringkali jatuh dalm godaan kepentingan pribadi tersebut, dan memiliki bias-bias yang tidak bisa dihilangkan dalam penelitiannya. Moric Cohen menyebut hal ini sebagai “ kesulitan yang bersifat subyektif untuk menjaga keberjarakan ilmiah didalam ilmi-ilmu tentang persoalan manusia. Contoh, pada tahun 1936, para ilmuwan Jerman menolak apapun penemuan yang dirumuskan oleh orang-orang Yahudi, karena dianggap bersebrangan dengan kepentingan nasional. Pada 1951, seorang biollog asal Rusia dilarang merumuskan teorinya karena dianggap terlalu banyak mengandung nilai-nilai Liberal.

Disamping kepentingan politis yang mewarnai penemuan didalam ilmu pengetahuan ,ada juga beberapa kekurangan yang sangat jelas di dalam sejarah pengetahuan itu sendiri. Contoh paling jelas adalah argumentasi para antropolog yang membenarkan keberadaan manusia Piltdown dan juga para ahli yang seringkali “ berbohong dengan menggunakan statistic”. Bukankah kebetulan, jika seorang analisis ekonomi berpihak pada pemilik modal menggunakan data-data dari taun lainnya. Keduanya selalu menggunakakn data-data yang menunjang kepentingan mereka. Analisis ekonomi buruh akan berpikir untuk kepentingan buruh. Tentu saja hal ini sama sekali tidak membuktikan superoiritas ataupun inferioritas ilmu-ilmu alam.

Seorang ilmuwan juga seringkali hanya melakukan penelitan pada bidang-bidang yang dipilihnya dengan alasan subyektif. ,contoh , jika suatu penelitian didanai oleh yayasan ataupun pemerintah , maka sang ilmuwan menggendong nilai-nilai yang dianut oleh yayasan ataupun pemerintah yang mendanainya. Jika suatu penelitian tidak didanai oleh yayasan ataupun pemerintah maka sang ilmuwan akan melakukan penelitian sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai nilai social, yakni bidang yang menurut pengamatannya sendiri dan berguna untuk masyarakat. Semua hal ini menunjukkan bahwa setiap ilmuwan, baik social maupun alam selalu dipengaruhi oleh nilai tertentu. Lepas dari itu seorang ilmuwan juga bisa melakukan penelitian murni karena dorongan motivasi atau ingin tahu.

Pada titik ini, kita sampai pada criteria perbandingan nilai yang paling tajam, yakni acuan tentang nilai yang salalu sudah dimiliki oleh obyek analisis dalam ilmu pengetahuan. Realitas social, seperti masyarakat misalnya, yang menjadi objek kajian ilmi-ilmu social, selalu dijelaskan dalam kerangka nilai-nilai tertentu yang memotivasi masyarakat tersebut untuk melakukan sesuatu. Dengan kata lain, suatu tindakan social di masyarakat tertentu hanya motivasinya dengan memahami nilai-nilai macam apakah yang ada di dalam masyarakat tersebut. Hal ini lah yang membedakan antara ilmi sossial dengan ilmu alam.

Contoh : sebuah batu tidak akan berkata pada kita, “saya adalah binatang”. Batu juga tidak akan berkata, “saya pindah kesini, karena saya tidak suka dengan keadaan diatas. Disini pemandangannya bagus, terutama bagian yang menghadap lembah”. Tidak ada pengaruh motivasi pada batu. Akan tetapi, manusia memiliki motivasi semacam itu, dan realitas social justru harus dijelaskan berdasarkan motivasi mendasar yang menjadi fondasi dari tindakan manusia tersebut. Dengan demikian, penelitian social haruslah mengungkapkan nilai-nilai yang memotiviir suatu tindakan dari realitas social yang ditelitinya. Perbandingan ini tidaklah berurusan secara langsung dengan status obyektivitas ilmiah dari ilmuwan yang menganalisis realitas social tersebut. Dengan begitu,criteria ini tidak memadai untuk menempatkan ilmu-ilmu social dalam posisi yang lebih inferior dari pada ilmi-ilmu alam.

E. Hukum dan Hipotesis

1. Hipotesis pada level atas

Ciri - ciri :

a. Tidak pernah bisa diverifikasi, baik langsung ataupun tidak.

b. Terbentuk dari berbagai hipotesis yang menyusun suatu sistem gagasan tertentu.

c. Dapat diuji sebagai suatu system keseluruhan dengan premis dasar yang harus diterima sebelumnya.

Hipotesis level atas berlangsung pada ilmu-ilmu alam dan sosial. Karena itu kita tidak perlu menguji secara langsung beberapa hipotesis mendasar di dalam fisika (Hukum kekekalan enegi, hokum gerak lurus dan hokum gerak), serta membuktikan langsung salah satu postulat fundamental dalam ekonomi (hukum tentang maksimalisasi kegunaan dan keuntungan)

2. Hipotesis pada level rendah

Ciri-ciri :

1. Ilmu-ilmu pengetahuan alam tidak selalu bisa di verifikasi (ex L teori evolusi, teori penciptaan alam).

2. Ilmu-ilmu pengetahuan sosial dapat selalu diuji, walau ada beberapa yang tidak dapat diuji secara langsung.

Pada fenomena-fenomena yang tidak dapat di ulang dan di kontrol dalam eksperimen, para ilmuan harus membuat hipotesis yang tidak dapat diuji keabsahannya dalam jangka waktu yang lama, bahkan selamanya.

Sedangkan dalam ilmu sosial, tidak mungkinnya dilakukan sebuah eksperimen yang spesifik menjadi halangan besar. Kelemahan ini bukanlah kelemahan yang ada di dalam diri ilmuan sosial, melainkan sudah ada di dalam hakikat realitas sosial itu sendiri.

F. Ketepatan Penemuan-Penemuan

Orang-orang yang berpendapat bahwa ilmu-ilmu sosial tidaklah setepat ilmu-ilmu alam seringkali adalah orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang hakikat ilmu-imu tersebut, ataupun tidak memahami betul arti ketepatan.

Ketepatan dimaknai sebagai:

1. Ketepatan pengukuran.

2. Ketepatan sebagai keakuratan dalam memprediksi kejadian masa depan.

3. Kemampuan suatu analisis dibahasakn secara sistematis.

4. Kemungkinan untuk merumuskan suatu teori yang mengandung konsep-konsep abstrak, serta variable-variabel yang mendukung dan saling berhubungan, dimana semua proposisi yang salaing berkaitan dengan peristiwa-peristiwa partiular dapat dideduksikan. (pengertian yang paling memadai)

Kita tidak mungin merumuskan suatu bentuk metode ataupun teori universal di dalam ilmu-ilmu sosial. Akan tetapi, kualitas ketepatan, jika dimengerti dalam definisi yang sudah dirumuskan tidak hanya dimiliki oleh ilmu-ilmu alam, tetapi juga ilmu-ilmu sosial.

G. Keterukunan Fenomena yang Diamati

Ekonomi adalah satu-satunya bidang ilmu yang memiliki data tentang realitas sosial dalam bentuk numerik. Pada bidang ilmu lainnya, sang ilmuwan haruslah melakukan perhitungan terlebih dahulu sebelum memperoleh data numerik. Data numerik dalam bentuk angka bukanlah satu-satunya hal yang dibutuhkan. Supaya berguna, data dalam bentuk angka tersebut haruslah diberikan kerangka teoritis yang komprehensif, sehingga dapat menjelaskan suatu fenomena. Di samping itu, data-data mentah di dalam ekonomi haruslah juga dianalisis terlebih dahulu, sehinga dapat secara memadai dikombinasikan dengan kerangka teori yang sudah ada sebelumnya.

Ada beberapa bidang ilmu, baik di dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, di mana data-data kuantitatif dalam bentuk numerik tidak pernah dapat dirumuskan. Jika salah satu pepatah klasik di dalam ilmu pengetahuan yang diucapkan oleh Lord Kelvin, yakni “ilmu pengetahuan merupakan pengukuran”, dianggap serius, maka ilmu pengetahuan justru mngabaikan salah satu aspek terpentingnya.

H. Kemampuan Prediksi

Kita harus membedakan antara prediksi yang bersifat kondisional dan prediksi tidak bersifat kondisional. Bahkan, kondisi yang bersifat kondisional pun harus dibedakan lebih jauh, yakni antara kondisi-kondisi yang dapat dikontrol, dan kondisi-kondisi yang tidak dpat dikontrol. Di samping itu, ada pula distingsi tentang data-data numerik, yakni:

  1. Data-data numerik yang akan berubah.
  2. Akan bertambah.
  3. Akan bertambah secara maksimal.
  4. Akan bertambah dengan jumlah terbatas.
  5. Akan bertambah dengan jumlah tak terbatas.

Suatu prediksi tanpa acuan waktu yang jelas sama sekali tidak berguna.

Di dalam realitas alamiah yang kompleks, kita harus membedakan antara prediksi atas kejadian yang telah direncanakan sebelumnya, dan prediksi, di mana ilmuwan tidak berperan apapun.

Misalnya: jika saya menulis surat, menuliskan alamat yang ingin saya tuju, menempelkan perangko di atasnya, dan membawanya ke kantor pos untuk dikirimkan, maka saya dapat memprediksi bahwa tiga atau empat hari kemudian, surat tersebut akan sampai ke alamt yang saya inginkan. Sama halnya anda tidak perlu menjadi seorang ilmuwan alam untuk memperediksi nyalanya lampu di kamar, jika anda menekan saklarnya.

Memang, lebih banyak prediksi yang meleset daripada yang akurat di dalam realitas yang tidak diatur atau dimanipulasi terlebih dahulu. Hal yang sama juga terjadi di dalam bidang ekonomi, di mana seorang ekonom akan mengalami kesulitan, ketika ia diminta untuk meramalkan bagaimana peluang lapangan kerja, peningkatan pendapatan, ataupun ekspor barang dua atau tiga tahun mendatang. Ada banyak pihak yang berpendapat bahwa seorang ahli haruslah bertanggungjawab penuh terhadap prediksi yang dibuatnya. Lepas dari itu, prediksi juga bisa berfungsi sebaliknya, ketika dirumuskan secara negatif. Baik untuk ilmu-ilmu alam ataupun ilmu-ilmu sosial, kita haruslah bersikap kritis terhadap smeua prediksi yang para ilmuwan rumuskan. Dalam arti tertentu, mungkin lebih baik kita mengakui bahwa prediksi atau “ramalan” bukanlah spesialisasi seorang ilmuwan.

I. Keberjarakan dari Pengalaman Sehari-hari

Ilmu pengetahuan terkesan eksklusif karena dipahami sebagai bentuk pengetahuan yang hanya dapat dimengerti oran-orang yang mempunyai pikiran yag kuat. Contohnya orang biasa tidak mampu mengerti tulisan jurnal fisika dan kimia, bahkan tidak bisa dilafalkan dengan benar. Pendek kata, orang biasa tidak mungkin menjadi seorang ilmuwan, terutama ilmuwan alam, jika tidak menjalani proses-proses tertentu.

Di sisi lain, orang biasa mungkin saja membaca dan mampu meraba apa arti konsep dalam konteks tulisan ekonomi,, sosiologi, antropologi, dan psikologi. Dengan membaca Koran maupun mendengar berita dan diskusi di televisi. Ini memungkinkan konsekuensi negative dimana hasil karya ilmuwan sosial seringkali dianggap tidak ilmiah, karena dianggap terlalu mudah.

Fakta bahwa ilmuwan sosial kurang menggunakan konsep-konsep teknis yang rumit dibandingkan ilmuwan berkaian langsung dengan sikap dan karakter orang biasa pada umumnya. Konsep teknis yang digunakan ilmuwan sosial memiliki makna ganda, yakni dalam arti sehari-hari, atau dalam arti teknis. Pembaca yang bisa merasa kagum, atau justru bingung karena kata tersebut dimaknai secara berbeda. Sedangkan pada ilmuwan alam, konsep teknisnya lebih rumit, seperti fosil, nucleus, electron yang mungkin membuat orang biasa akan terheran-heran, karena ternyata ada yang memperdulikan hal semacam itu. Fakta bahwa ilmu sosial menganalisis manusia dalam interaksinya dengan manusia lain menandakan bahwa ia tidak mampu melampaui paradigm yang mempengaruhinya sendiri. Hal inilah yang dicurigai bahwa ilmuwan sosial hanya menyatakan apa yang diyakininya sendiri dan tidak mampu obyektif.